Okay...tentunya bukan sebenar-benarnya bergelantungan. Maksudnya hang out gitu...ihik...maaf ya lagi garing.
So, awal bulan ini, tepatnya tanggal 3-5 Agustus, akhirnya saya berkesempatan mengunjungi Yogyakarta lagi. Somehow memang suka kangen juga sama kota yang satu ini. Yogyakarta tuh buat saya seperti Paris (eaaa) ngangenin... (eaaa lagi). Yah...tentu saja lebih ngangenin Paris secara Bandung kan Parijs van Java (eaaa lagi).
Dengan berkereta bisnis dari Bandung, saya pun tiba di Yogyakarta sekitar jam 4 pagi. Hampir aja kelewatan secara keretanya berakhir di Solo/Surakarta dan saya lagi terlelap waktu mau sampai Yogyakarta. Rencananya sih nanti saya bakal dijemput seorang kawan, Bientoro, yang jadi salah satu alasan saya dan jeng Vina (panggil saja begitu...mungkin bukan nama sebenarnya) bertandang ke Yogya. Tapi karena si kawan ini sibuk sekali, alhasil saya baru dihampirinya lewat jam 5 pagi.
Setelah berkumpul bersama jeng Vina yang dijemput oleh jeng Reni, kami pun menuju kediaman jeng Reni yang kebetulan sedang menerima tamu bernama Fernando. Cowo Costa Rica yg tampangnya lumayan karena bagian-bagian wajahnya cukup proporsional. Sepagian itu kami leyeh-leyeh di tempat Reni dan baru keluar ketika akan makan siang.
Dengan mengharapkan bisa bertemu Bien siang itu, akhirnya Vina dan saya mengajak Reni dan Fernando untuk makan di Ambarukmo Plaza. Pilihan akhirnya jatuh ke House of Balcony sesuai rekomendasi Vina yang konon harganya mahal untuk ukuran Yogyakarta dan...memang! *sigh* Tapi karena harganya masih boleh lah untuk saya, jadi ya sudah lah ya.
Pilihan untuk makan siang pertama ini jatuh kepada tengkleng, setelah pelayannya berjanji bahwa yang akan dihidangkan tidak termasuk kepala dan mata kambing seperti tengkleng terakhir yang dihidangkan untuk saya di Solo tahun lalu. Taaa daaa! Ini dia!
Segarnya makan tengkleng itu di siang hari. Dan senangnya lagi udara Yogyakarta ketika saya disana sedang adem...ga terlalu panas. Bahkan tidur pun jadi bisa berselimut. Ihik...
Setelah makan dan kemungkinan bertemu Bien rada nihil karena si bapak sedang sibuk, maka Vina dan saya bergerak menuju Malioboro. Tepatnya ke pasar Beringharjo untuk berburu batik. Cukup menyeberang dari Amplaz, bayar 3000 rupiah untuk tiket TransYogya, lalu duduk manis beberapa lama, kami berdua pun sampai di Beringharjo. Herannya, saya belum pernah sesenang ini berburu batik. Biasanya batik bukan pilihan barang buruan saya kalau ke Yogya.
Dari Beringharjo dan Mirota kami pun menyelusuri Malioboro ke arah Stasiun Tugu. Di dekat Ibis kami berhenti sebentar untuk makan di Artemy Italian Gelato yang konon paling enak di Yogya (karena mungkin ga ada tempat gelato lain :D). Tapi suer...emang enak!! Apalagi sambil makan cheese stick panas dicocol ke gelatonya.
Jeng Reni pun menjemput untuk makan malam di Iga Bakar Sapi Bali di Jl. Umbul Permai. Ini kedua kalinya saya ke sana. Setahun yang lalu bagian belakang restoran masih berupa tanah berumput dan tidak dipakai. Tapi kali ini tempatnya diperluas ke daerah tanah sebelumnya itu dan disemen tentunya. Wajar, soalnya beken banget tempat ini dan banyak banget yang datang ke sana. Karena makin luas, tentunya jadi makin nyaman. Kami ketambahan 1 teman lagi, Thomas, teman kuliah Fernando dari Jerman. Iga bakar madu jadi pilihan saya karena saya lebih suka yang tidak pedas. Sedangkan teman-teman yang lain ada juga yang memesan iga bakar bali-nya.
Puas banget makan di sana!! Potongan iga-nya besar, empuk, dan enaaaakkkkkk. Bahkan ketika menulis ini sambil mengingatnya pun...air liur tak urung bercucuran... *slurp* Sayangnya si iga bakar madu ini tidak dikasih tambahan kuah yang disertakan kalau memesan iga bakar bali. Padahal kuahnya juga enak!! Pedas-pedas segar. Enak banget lah buat saya.
Makan malam di Iga Bakar Sapi Bali bukan jadi tempat bergelantungan terakhir. Dari sana Reni membawa kami ke Kalimilk. Tempat minum susu dengan pilihan susu yang berbagai macam, baik panas maupun dingin. Katanya sih yang paling laku tuh susu durennya (dingin). Karena lagi pengen yang panas, saya pesan susu oat. Ternyata pilihan susu dinginnya ga dingin-dingin banget, karena ga dikasih es lagi. Dinginnya cukup nyaman untuk diminum malam. Dan susu durennya memang enak banget. Walau begitu, sepertinya sih semua rasa-rasa ini essence semata, atau sirup, bukan dari duren atau oat asli. Range harganya cukup terjangkau. Dari sekitar 5,000 sampai 20,000 rupiah tergantung rasa dan ukuran. Ukurannya ada yang kecil dan G....gajah...wkwkwk
Lucunya...(bisa dikatakan unik juga)...si peminum susu disana disebut nenen-ers. Tau dong 'nenen' tuh ngapain. Buat yang ga tau yah silahkan cari tahu ya. Sampai-sampai buat pembatas area smoking aja pakai si #neneners ini... hihihihi.
Yak! Sekian cerita bergelantungan di Yogyakarta hari pertama. Hari setelahnya lebih seru lagi loh ;)